Turunnya Angka Pernikahan dan Maraknya Trend Childfree pada Masyarakat Modern
Belakangan ini, banyak beredar berita mengenai ancaman resesi seksusal bagi Indonesia di tahun 2023 mendatang. Resesi seksual dapat diartikan sebagai kondisi dimana terjadi penurunan pada minat masyarakat untuk memiliki keturunan. Fenomena ini menyebabkan terjadinya penurunan angka kelahiran pada suatu wilayah. Penurunan angka kelahiran dapat menjadi ancaman bagi suatu wilayah. Pasalnya, resesi seksual dalam jangka panjang dapat menyababkan perbandingan yang signifikan antara angkatan kerja atau usia produktif dengan generasi tua dimana usia produktif akan menjadi minoritas.
Meski demikian, saat ini Negara Indonesia masih memiliki angka kelahiran yang tinggi hinga dapat merasakan fenomena bonus demografi hingga tahun 2024. Artinya, jumlah angkatan kerja Indonesia masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif (Karina, 2022). Adapun negara-negara yang tengah mengalami resesi seks ialah negara Asia Timur seperti Korea Selatan, China, dan Jepang. Di Jepang, fenomena ini disebut dengan fenomena Shoushika (少子化), dimana “shoushi” berarti sedikit anak dan “ka” berarti perubahan. Secara garis besar, Shoushika dapat dimaknai sebagai suatu kondisi ketika angka kelahiran bergerak turun hingga mencapai jumlah yang lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah populasi penduduk sebagi pengganti di masa yang akan datang (Tiavanka Novelina, 2022).
Pada umumnya, fenomena tersebut disebabkan karena menurunnya minat seseorang (terutama wanita) untuk menikah ataupun memiliki anak. Di Jepang, kebanyakan wanita tidak lagi menganggap pernikahan sebagai tujuan utama dalam hidup mereka. Akibatnya, wanita Jepang memilih untuk menunda pernikahannya untuk fokus pada karir pekerjaannya. Hal tersebut juga berkaitan dengan budaya Jepang yang dikenal sebagai negara dengan penduduk yang gemar berkerja.
Terdapat beberapa alasan terkait berubahnya vara pandang wanita Jepang mengenai pernikahan. Pertama, seiring berkembangnya zaman, wanita lebih tertarik untuk hidup sendiri. Kedua, sebagian wanita memilih untuk menikmati kesendiriannya di masa muda. Ketiga, banyak wanita yang merpendapat bahwa mengurus perekonomian dalam rumah tangga merupakan hal yang rumit. Keempat, Tidak adanya daya tarik bagi perempuan akan keuntungan dari dilakukannya pernikahan. Kelima, berubahnya kesadaran masyarakat mengenai usia menikah. Keenam, Sebagian orang merasa lebih bersemangat untuk bekerja dibandingkan untuk menikah serta kekhawatiran akan potensi kehilangan pekerjaaan setelah menikah (Mulyadi, 2018). Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab menurunnya angka pernikahan di beberapa negara.
Mengenai penikahan atau perkawinan, antropologi memandangnya sebagai suatu hal yang suci bagi manusia, yang menjadikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya sah secara agama maupun budaya. Dalm masyarakat adat, sebagian besar pernikahan akan menghasilkan keturunan. Hal tersebut dapat menyebabkan pembaharuan generasi yang diharapkan mampu meneruskan tradisi adat yang ada dalam kelompok masyarakat tersebut. Adapun pengertian dari perkawinan telah disebut dalam Undang-undang Nomor 1 Pasal 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai sumai istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Maarif, 2021).
Selanjutnya, ilmu Antropologi mengemukakan beberapa sistem perkawinan yang dapat terjadi dalam masyarakat. Sistem perkawinan dalam perspektif ilmu Antropologi meliputi:
a. Sistem Endogami
Sistem Endogami merupakan sistem perkawinan yang dikakukan dengan pasangan yang berasal dari lingkungan dan latar belakang yang sama. Pada umumnya, perkawinan Endogami sangat mempertimbangkan suku, marga, kasta, serta keluarga calon pasangan (Aurika et al., 2019).
b. Sistem Eksogami
Berbeda dengan sistem Endogami, sistem perkawinan Eksogami dapat dilakukan dengan pasangan yang memiliki latar belakang yang berbeda tanpa harus memperhatikan aspek budaya maupun sosial. Adapun sistem eksogami dibagi kembali menjadi dua jenis yakni sebagai berikut;
· Heterogami, yakni jenis perkawinan eksogami yang oleh dua orang dari kelas sosial yang berbeda, seperti seorang keturunan kerajaan yang menikahi rakyat biasa.
· Homogami, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang dengan kelas sosial yang sama, seperti seorang anak pedagang yang menikahi dengan anak pedagang lainnya (Aurika et al., 2019).
c. Sistem Monogami
Monogami merupakan sistem perkawinan yang hanya terdiri dari seorang istri dan seorang suami, tanpa adanya ikatan pernikahan lain di antara keduanya (Aurika et al., 2019).
d. Sistem Poligami
Poligami adalah bentuk perkawinan yang di dalamnya terdapat ikatan pernikahan lain seperti laki-laki yang memiliki beberapa istri ataupun perempuan yang memiliki beberapa suami (Aurika et al., 2019).
e. Sistem Poligini
Poligini pada umumnya dilakukan ketika terdapat situasi dimana seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri yang kemudian menyebabkan perselisihan antar-istri dalam rumah tangga. Poligini sororat dilakukan apabila istri-istrinya memiliki ikatan darah, sedangkan Poligini non-sororat dilakukan jika istrinya bukan merupakan kakak-beradik (Aurika et al., 2019).
f. Poliandri
Serupa dengan Poligini, Poliandri dilakukan untuk meminimalisir perselisihan antar suami, dimana Poliandri fraternal dilaukan apabila suami merupakan kakak-beradik, sedangkan non-fraternal apabila para suami tidak memiliki hubungan keluarga (Aurika et al., 2019).
Berbagai bentuk perkawinan tersebut memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda-beda berdasarkan adat atau tradisi yang ada dalam keluarga. Syarat-syarat perkawinan yang demikian kini dianggap rumit oleh sebagian besar genarsi modern. Akibatnya, pemuda usia matang pada hari ini cenderung merasa enggan untuk menikah dan memilih untuk menjalani kehidupannya sendiri. Lebih jauh lagi, orang-orang yang telah menikah pun merasa tidak tertarik untuk memiliki keturunan dan lebih memilih untuk menerapkan sistem childfree,
Trend Childfree diadopsi ke Indonesia dari budaya Barat yang terbiasa dengan penduduk yang giat, mandiri, dan cenderung mementingkan kehidupan pribadi daripada keturunannya. Childfree sendiri merupakan istilah dimana sepasang suami-istri memutuskan untuk tidak memiliki anak atau keturunan. Adapun umumnya Childfree dapat dilakukan dalam kurun waktu tertentu (sementara) maupun bersifat permanen. Fenomena Childfree diyakini memiliki hubungan yang erat dengan meningkatnya kualitas pendidikan wanita pada era modern. Wanita berpendidikan tinggi cenderung membatasi jumlah anak atau bahkan tidak menginginkan keturunan sama sekali (Fatimah, 2022).
Turunnya minat untuk menikah serta memiliki anak pada masyarakat modern menyebabkan kontraversi dalam persepsi masyarakat. Pasalnya, fenomena tersebut memiliki berbagai dampak yang perlu dipertimbangkan. Bila dilihat dari sudut pandang demografi, keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak dianggap memberikan dampak positif. Saat ini, populasi di dunia telah mencapai lebih dari 8 miliar jiwa dan diprediksi akan mencapai angka 9 miliar jiwa dalam kurun waktu 15 tahun (Dewi, 2022). Perserikatan Bangsa Bangsa mengaku khawatir akan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. PBB menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dapat menggagalkan upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan jalur terbaik untuk mencapai kehidupan dunia yang sejahtera (Dewi, 2022). Dengan demikian, keputusan untuk memperlambat laju pertumbuhan penduduk dengan menerapkan gaya hidup Childfree dianggap sebagai keputusan terbaik untuk saat ini.
Meski demikian, apabila dilihat dari perspektif adat dan budaya, keputusan gaya hidup Childfree dapat mengancam kelestarian tradisi yang telah dipelihara secara turun menurun antar generasi. Jika banyak orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka suatu kelompok masyarakat akan mengalami kesulitan dalam beregenerasi. Akibatnya, suatu adat atau wilayah tidak dapat meneruskan tradisi serta harapan suatu bangsa. Perlahan, tradisi-tradisi tersebut akan pudar dan eksistensi manusia tidak lagi menjadi tonggak kemajuan bangsa. Keberagaman dalam suatu wilayah akan menghilang dan tidak ada lagi inovasi-inovasi baru yang dapat menjadi pegangan bagi masyarakat.
Pada akhirnya, keputusan terbaik ada pada pribadi masing-masing. Mencegah terjadinya overpopulasi tentu merupakan keputusan yang bijak. Akan tetapi, mempertimbangkan kelestarian budaya dan kesejahteraan dunia di masa yang akan datang juga perlu dilakukan. Keputusan untuk melakukan pernikahan serta memiliki keturunan memerlukan pertimbangan serta kesiapan yang cukup. Dengan demikian, apapun keputusan yang diambil akan memberikan hasil dan pengaruh yang optimal di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Aurika, A. F., Septyani, A., Ciptaningrum, P. W., & Mukti, V. A. (2019). Makalah Antropologi Tentang Sistem Perkawinan dan Keluarga.
Dewi, I. R. (2022). Populasi Dunia Hari Ini Capai 8 Miliar, PBB Kasih Warning Ini. CNBCIndonesia.Com. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20221115075404-37-387942/populasi-dunia-hari-ini-capai-8-miliar-pbb-kasih-warning-ini
Fatimah, M. (2022). Studi Fenomenologi: Childfree by Choice pada Wanita Bekerja.
Karina, D. (2022). Resesi Seks Ternyata Bisa Menimbulkan Lonely Economy, Apa Itu? Kompas.Tv. https://www.kompas.tv/article/356377/resesi-seks-ternyata-bisa-menimbulkan-lonely-economy-apa-itu
Maarif, S. D. (2021). Apa Itu Sistem Perkawinan dan Jenis-Jenisnya Menurut Antropologi. Tirto.Id. https://tirto.id/apa-itu-sistem-perkawinan-dan-jenis-jenisnya-menurut-antropologi-gbwr
Mulyadi, B. (2018). Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan perkembangan Budaya di Jepang. Kiryoku, 2(2).
Tiavanka Novelina, L. (2022). Dampak Yang Dihadapi Masyarakat Jepang Akibat Fenomena Shoushika.