Pembagian Peran dalam Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Kesetaraan Gender melalui Perspektif Teori Struktural Fungsional

Sesya Azzukhruf Fairuz
8 min readFeb 11, 2023

--

Kesetaraan gender merupakan isu yang marak diperbincangkan pada era Globalisasi ini. Pada dasarnya, isu kesetaraan gender berawal dari perbedaan jenis kelamin manusia yang kemudian menghasilkan berbagai stereotip dan batasan-batasan tertentu mengenai peran yang dibawakan oleh jenis kelamin tersebut. Pandangan-pandangan mengenai perbedaan jenis kelamin tersebut memunculkan berbagai “naskah” dalam suatu kelompok masyarakat untuk diikuti oleh anggotanya. Anggota masyarakat tersebut biasanya diharapkan untuk dapat berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya. Perilaku yang dimaksud ialah sikap feminin bagi perempuan serta sifat maskulin bagi laki-laki. Adapun pola perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin pada umumnya meliputi cara berpakaian, sikap, kepribadian, pekerjaan, hingga tanggung jawabnya dalam keluarga.

Dalam sosiologi, keluarga dapat diartikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga dibagi menjadi dua jenis, yakni nuclear family dan extended family. Nuclear family atau yang biasa disebut keluarga inti adalah bentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sementara itu, extended family merupakan bentuk keluarga yang di dalamnya terdapat dari unsur keluarga inti. Dari unsur-unsur dalam keluarga tersebut perlu melakukan suatu pembagian peran untuk menentukan tanggung jawab dari masing-masing anggota keluarga. Pembagian peran ini sangat berkorelasi dengan penerapan teori struktural fungsional milik Talcott Parsons. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menganggap pembagian peran dalam keluarga secara struktural fungsional sebagai bentuk ketidaksetaraan gender. Demikian sebagian masyarakat menentang adanya harapan terkait pembagian peran dalam keluarga berdasarkan oleh gender.

Konsep struktural fungsional lahir dari adanya paradigma fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim yang meyakini bahwa terdapat kekuatan-kekuatan di luar individu yang bersifat memaksa, menentukan, dan mengontrol masyarakat dalam bertindak. Teori yang dikemukakan oleh Talcott Parsons ini secara garis besar menjelaskan tentang keberadaan masyarakat sebagai bentuk keteraturan. Teori struktural fungsionalisme meyakini bahwa keteraturan yang ada dalam masyarakat merupakan akibat dari adanya sistem yang mengatur kehidupan manusia. Adapun sistem tersebut berdasar pada nilai-nilai budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai itu bisa datang dari sistem-sistem sosial seperti agama, struktur politik, pendidikan, keluarga, dan sistem-sistem sosial lainnya.

Rocher dalam bukunya menyatakan bahwa suatu fungsi merupakan kumpulan aktivitas yang dilakukan untuk memnuhi kebutuhan tertentu dalam suatu sistem. Parsons meyakini bahwa terdapat empat fungsi yang perlu dimiliki oleh suatu sistem yang disebut sebagai AGIL.

a. Adaptation (Adaptasi)

Fungsi adaptasi mengharapkan suatu sistem untuk dapat memperbaiki situasi eksternal. Suatu sistem perlu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungannya dengan kebutuhannya.

b. Goal attainment (Pencapaian tujuan)

Fungsi pencapaian tujuan menjelaskan bahwa suatu sistem harus bisa memaknai tujuan utamanya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal.

c. Integration (Integrasi)

Fungsi integrasi menginginkan suatu sistem untuk dapat mengkooperasi jalinan hubungan antara komponen-komponennya. Sistem harus memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan dan mengelola hubungan antara fungsi-fungsi lainnya (A, G, L).

d. Latency (Pemeliharaan pola)

Fungsi latensi atau pemeliharaan pola menjelaskan bahwa sebuah sistem harus bisa memperhatikan, melengkapi, mengelola, memelihara, serta memperbaiki motivasi individual serta pola-pola kultural yang menjadi melahirkan motivasi itu sendiri.

Secara tidak langsung, fungsi-fungsi tersebut meinginginkan adanya keselarasan serta keseimbangan di antara elemen-elemen pembentuk suatu sistem. Parsons menghubungkan individu dengan sistem sosial melalui konsep status dan peran, dimana setiap inidvidu akan menempati suatu tempat atau tingkatan (status) yang kemudian akan berpengaruh pada segala tindakan yang sesuai dengan norma yang dibuat dalam sistem tersebut (peran). Peran inilah yang diharapkan untuk menjadi dorongan bagi sebuah sistem untuk bisa dikatakan berfungsi. Adapun fungsi yang dimaksud ialah keselarasan serta keseimbangan (equilibrium) dalam masyarakat.

Dalam konteks gender dan keluarga, konsep struktural fungsional membagi peran bagi laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk menciptakan sebuah keharmonisan. Dalam teori ini, laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing yang harus dijalani sebagaimana mestinya agar integrasi atau keterseimbangan dapat tercipta. Hal ini menyebabkan lahirnya feminisme liberal yang menganggap teori struktural fungsional sebagai bentuk dari ketidaksetaraan gender. Pasalnya, struktural fungsional meyakini bahwa adanya ketidaksetaraan dalam masyarakat merupakan sesuatu yang diperlukan agar masyarakat dapat bekerja dengan teratur.

Pernyataan tersebut terbukti dengan adanya pembagian peran dalam keluarga. Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak terdapat suatu sistem yang saling berkaitan dan perlu dijaga ketersimbangannya masing-masing dari anggota keluarga perlu memiliki peran dan fungsi masing-masing guna mencapai tujuan dan keharmonisan keluarga. Pada umumnya, pembagian peran yang ada dalam keluarga meliputi ayah sebagai kepala keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah serta ibu sebagai pengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Pembagian peran tersebut dalam apabila ditinjau melalui perspektif teori struktural fungsional disebut sebagai peran instrumentality dan expressiveness. Instrumentality berkaitan erat dengan peran ayah atau laki-laki dengan stereotip bahwa tugas-tugas berat dan “pekerjaan kotor” hendaknya diberikan pada laki-laki. Sementara itu, peran expressiveness cenderung berpusat pada perasaan atau emosi seseorang yang digambarkan dengan kepedulian dan sensitivitas yang distereotipkan kepada perempuan atau ibu. Kedua peran tersebut dikenal juga sebagai maskunilitas dan feminin.

Demikian teori struktural fungsional mengakui bahwa terdapat makna yang kuat akan perbedaan peran perempuan dan laki-laki. Hal tersebut kemudian dikaitkan pada konteks keluarga, dimana perlu ada pembagian peran agar tanggung jawab masing-masing anggota keluarga daoat terbagi secara rata. Konteks keluarga yang diteliti melalui pendekatan teori struktural fungsional meyakini bahwa adanya perubahan atau penyimpangan pada fungsi, dukungan, serta lingkungan dalam keluarga dapat memiliki pengaruh terhadap anggota keluarga.

Bentuk pengaruh perubahan fungsi anggota keluarga yang dapat terjadi dalam keluarga pada umumnya berupa fenomena kenakalan remaja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Priasmara, Widjajanto, dan Supriati di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Malang, tercatat hingga 215 laporan mengenai pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh siswa salam kurun waktu tiga bulan (November 2015 — Januari 2016). Adapun bentuk bentuk pelanggaran tersebut seperti terlambat masuk kelas, tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah, tidak hadir lebih dari dua hari tanpa keterangan, berkata kasar, menyaksikan film dewasa, berkelahi, merokok, hingga menyebabkan kerusakan pada fasilitas sekolah.Penyimpangan-penyimpangan tersebut dianggap sangat berkaitan dengan faktor kondisi keluarga masing-masing siswa. Anggapan akan penyebab terjadinya kenakalan remaja tersebut ialah karena kurangnya perhatian serta pemantauan khusus dari orang tua yang tidak melakukan pembagian tanggung jawab dengan rata. Akibatnya, anak akan merasa kurang diperhatikan sehingga ia memutuskan untuk mencari perhatian di sekolah dengan cara membuat onar.

Penganut teori struktural fungsional berpendapat bahwa dalam keluarga hendaknya terdapat dua peran utama, yakni mencari nafkah serta mengurus anak. Apabila ditinjau dari pembagian peran instrumentality dan expressiveness, tentunya laki-laki atau ayah diharapkan untuk menjadi tulang punggung keluarga, dimana ayah harus melakukan pekerjaan yang bersifat kasar, proaktif, serta memerlukan kepercayaan diri guna mendapatkan penghasilan untuk diberikan kepada anak istrinya. Sementara itu, perempuan atau ibu digambarkan sebagai kelompok yang cenderung memiliki sikap lemah lembut, emosional, dan memiliki rasa empati yang tinggi sehingga perannya lebih cocok untuk dijadikan sebagai pengurus rumah tangga dan anak. Dengan pembagian tanggung jawab yang demikian, maka kemungkinan anak merasa kurang diperhatikan akan menyusut. Selain itu, ibu juga dapat mengawasi pola perilaku anak agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tak diinginkan. Dengan demikian, terbentuklah karakter anak yanglebih disiplin serta patuh terhadap norma dan aturan yang ada di sekitarnya.

Saran tersebut sebenarnya telah diupayakan realisasinya di Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang Pasal 25 ayat (2) dan (3) mengenai Ketahanan Keluarga. Secara garis besar, Rancangan Undang-Undang ini menjelaskan terkait pembagian peran dan tanggung jawan antara suami dan istri. Adapun intisari dari isi Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga Pasal 25 ayat (2) adalah bahwa peran suami berupa menjaga keutuhan keluarga dan memberikan keperluan hidup, melindungi keluarga, serta melakujan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga. Seementara itu pada ayat (3) dijelaskan pula terkait peran istri yaitu berupa mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, juga memperlakukan suami dan anak sesuai dengan norma dan perundang-undangan.

Sama halnya dengan isu yang telah dibahas sebelumnya, Rancangan Undang-Undang yang secara tidak langsung berlandaskan dengan teori struktural fungsional ini menunjukkan adanya unsur pembagian kerja yang berpotensi untuk menyebabkan ketidaksetaraan. Dalam konteks keluarga dan rumah tangga, suami memegang peran yang amat penting yakni sebagai kepala keluarga. Pada Pasal 25 ayat (2), peran laki-laki atau seorang suami digambarkan dengan kesan maskulin atau dengan peran instrumentality. Di samping itu, peran istri hanya digambarkan sebagai pengelola urusan rumah tangga, seperti melayani suami dan mengasuh anak sebagaimana peran expressiveness yang memang distereotipkan terhadap wanita. Fenomena yang demikian dalam perspektif struktural fungsional milik Talcott Parsons membuktikan bahwa adanya ketidaksetaraan itu diperlukan guna mencapai suatu keseimbangan dalam masyarakat.

Akan tetapi, tidak sedikit aktivis feminisme yang menentang Rancangan Undang- Undang tentang Ketahanan Keluarga tersebut. Bagi para pejuang kesetaraan gender, Rancangan Undang-Undang sekaligus makna dari konsep struktural fungsional dalam keluarga tersebut sangat berlawanan dengan visi mereka yakni untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Para aktivis feminis tidak sepakat dengan adanya perbedaan peran dalam rumah tangga, terutama mengenai perempuan atau istri yang cenderung diberi peran expressiveness. Mereka menganggap hal tersebut sangat membatasi kebebasan kaum wanita untuk dapat memiliki karir atau pekerjaan sesuai minatnya masing-masing. Para feminis yakin bahwa perempuan seharusnya bebas memilih karirnya dalam kehidupan, baik itu menggunakan peran instrumentalist atau expressive.

Meski demikian, pertentangan oleh feminis disebut sebagai kekeliruan dalam persepsi terhadap teori struktural fungsional yang mendasari Rancangan Undang-Undang mengenai

Ketahanan Keluarga tersebut. Bagaimanapun juga, teori struktural fungsional tidak serta merta menyebutkan bahwa wanita harus memiliki peran feminin atau expressive dan pria perlu memiliki peran maskulin atau instrumentalist. Konsep struktural fungsional hanya menyarankan adanya kedua peran penting tersebut dalam sebuah keluarga untuk mewujudkan keharmonisan serta menghindari kemungkinan penyimpangan yang dapat terjadi. Dalam beberapa kondisi tertentu, wanita dapat mengambil peran sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sedangkan pria atau ayah berperan untuk mengurus kebutuhan rumah tangga dan mengurus anak. Fenomena ini disebut dengan stay at home dad. Fenomena stay at home dad menjadi salah ssatu solusi dari tercapainya tujuan konsep sturktural fungsional tanpa menentang konsep kesetaraan gender (Susanti, 2020). Selain itu, apabila kedua orang tua memutuskan untuk bekerja, hendaknya baik istri maupun sumai mengupayakan untuk meluangkan waktunya untuk menghabiskan waktu dengan anak terutama selama usia pertumbuhan. Dengan demikian kemungkinan terjadinya penyimpangan oleh anggota keluarga dapat diminimalisir dan keluarga dapat berfungsi dengan optimal.

Teori struktural fungsional meyakini bahwa adanya perbedaan peran serta pembagian kerja pada dasarnya berawal dari perbedaan gender. Pembagian peran ini dilihat sebagai hal yang penting guna mencapai keseimbangan dalam masyarakat. Setiap peran yang diambil oleh masing-masing individu dalam keluarga memiliki fungsi serta tujuannya tersendiri, tanpa membedakan kedudukan atau derajat individu tersebut. Sejatinya, perbedaan peran yang didasari oleh gender memang diperlukan agar tidak memunculkan konflik atau disfungsi dalam masyarakat, terutama pada unit keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Herdiyanti, E. P., Firman, & Rusdinal. (2019). Peran Ganda Wanita dalam Menunjang Perekonomian Rumah Tangga untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga di Sungai Musi Sumatera Selatan. Jurnal Pendidikan Tambusai, 3(6).

HZ, D. E. (2012). Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Konten Berbahaya dalam Media Cetak dan Elektronik. Jurnal Ilmu Hukum, 3(1).

Lastari, S. (2010). Interaksi Lingkungan Kerjadan Jender terhadap Penggunaan Keterampilan Manajerial di CV Nusantara Abadi Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Kewirausahaan, 6(12).

Priasmoro, D. P., Widjajanto, E., & Supriati, L. (2016). Analisis Faktor-Faktor Keluarga yang Berhubungan dengan Perilaku Agresif pada Remaja di Kota Malang. Jurnal Ilmu Keperawatan, 4(6).

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori Sosiologi Modern (6th ed.). PRENADA MEDIA. Rocher, G. (1975). Talcott Parsons and American Sociology. Nelson.

Rustina. (2014). Keluarga dalam Kajian Sosiologi. MUSAWA, 6(2).

Setiawan, H., Ouddy.Steven, & Pratiwi, M. G. (2018). su Kesetaraan Gender Dalam Optik Feminist Jurisprudence dan Implementasinya di Indonesia. Jurisprudentie , 5(2).

Susanti, N. (2020). Orientasi Masa Depan pada Remaja dengan Latar Belakang Keluarga “Stay At Home Dad.”

Sutiapermana, A. (2022). Ketidakrelevanan Wacana Kesetaraan Gender pada Islam dalam Tinjauan Paradigma Struktural-Fungsional. Mauriduna, 3(2).

--

--

Sesya Azzukhruf Fairuz
Sesya Azzukhruf Fairuz

Written by Sesya Azzukhruf Fairuz

A sociology student with a good interest in society and family matters.

No responses yet