Fenomena Long Distance Relationship dalam Sudut Pandang Teori Pertukaran Sosial
Dewasa ini hubungan jarak jauh atau yang biasa disebut dengan Long Distance Relationship (LDR) marak dijalani oleh sebagian orang. Dimulai dari kalangan remaja hingga dewasa, baik dalam berpacaran maupun hubungan pernikahan, istilah LDR telah dianggap lumrah dan umum terjadi. Long Distance Relationship merupakan situasi yang mengharuskan sebuah pasangan untuk berpisah secara fisik karena salah satu dari mereka harus pergi ke tempat lain untuk memenuhi suatu kepentingan, sedangkan satu orang lainnya harus menetap di rumah (Falah, Nabilah, 2022). Adapun pada umumnya hubungan jarak jauh terjadi karena salah satu individu dalam hubungan tersebut memiliki kepentingan atau keperluan yang mengharuskannya untuk menetap di tempat yang cukup jauh dari pasangannya. Belakangan ini hubungan jarak jauh sering kali disebabkan karena perbedaan penempatan kerja atau pendidikan. Long Distance Relationship sebenarnya sudah ada sejak dahulu, dimana para istri apparat negara harus berpisah dengan suaminya untuk kepentingan bangsanya. Akan tetapi, pada zaman yang telah maju ini, hubungan jarak jauh kian ramai diperbincangkan. Pasalnya, meski telah difasilitasi dengan teknologi yang mumpuni, banyak pasangan-pasangan Long Distance Relationship yang pada akhirnya memilih untuk berpisah. Namun demikian, tidak sedikit pula pasangan Long Distance Relationship yang hubungannya berlangsung dengan baik bahkan dapat dikatakan langgeng.
Adanya hasil yang berbeda pada pelaksanaan hubungan jarak jauh merupakan realitas yang dapat dikaji melalui teori pertukaran sosial. Pada dasarnya, manusia memandang suatu hubungan dalam konteks transaksional. Jika dikaitkan dengan teori pertukaran sosial, manusia yang berhubungan satu sama lain layaknya sedang melakukan suatu aktivitas ekonomi. Hal tersebut didasari oleh terdaoatnya perbandingan antara pengorbanan dan keuntungan (cost and reward) (Monge & Contractor, 2003).
Teori pertukaran sosial atau Social Exchange Theory menjadi pendekatan yang cocok untuk menelaah dan memprediksi pemeliharaan hubungan. Teori pertukaran sosial meyakini adanya pengaruh hubungan antara pengorbanan dan keuntungan terhadap hubungan sosial individu. Manusia pada dasarnya akan mempertimbangkan kedua instrumen pertukaran tersebut. Dalam suatu hubungan, seorang individu akan mengharaokan suatu keuntungan dan akan melakukan sebuah pengorbanan untuk mendapat keuntungan tersebut (Waluyo & Revianti, 2019).
Para ahli teori pertukaran sosial meyakini bahwa nilai dari sebuah hubungan diambil dari hasil perhitungan antara pengorbanan dan keuntungan. Adapun nilai tersebut dapat diperoleh dengan mengurangi pengorbanan dari keuntungan yang didapat.
Nilai (Value) = Keuntungan (Reward) — Pengorbanan (Cost)
Dari perhitungan tersebut, terdapat dua kemungkinan hasil yang berbeda. Hubungan yang nilai keuntungannya lebih besar dari pengorbanan dianggap sebagai hubungan positif. Sebaliknya, hubungan negatif cenderung menghasilkan jumlah pengorbanan yang lebih besar dari keuntungan yang didapatnya. Dari sini, arah dari suatu hubungan dapat diprediksi lebih lanjut. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan antara pengorbanan dan keuntungan dapat menjadi penentu nasib dari sebuah hubungan. Umumnya, hubungan positif akan mampu bertahan lama, sementara hubungan negatif memiliki peluang yang lebih besar untuk berakhir.
Akar dari teori pertukaran sosial adalah Behaviorisme. Behaviorisme dibawa oleh Skinner. Sub-teori ini diambil dari ilmu psikologi yang kemudian terintegrasi dengan sosiologi perilaku (Bushell & Burgess, 1969). Sosiologi perilaku berfokus pada hubungan antara perilaku individu yang terpengaruh oleh lingkungannya dan pengaruh individu terhadap lingkungan tersebut. Hubungan tersebut menjadi dasar dalam “pengondisian operan” (operant conditioning) yang pada intinya meyakini bahwa perilaku diubah oleh konsekuensinya (Baldwin & Baldwin, 1986). Ketika seorang aktor mendapatkan keuntungan dari sebuah perilaku yang ia lakukan, kemungkinan besar perilaku yang sama akan diulang lagi pada masa yang akan datang. Sebaliknya, jika suatu perilaku telah dirasa merugikan aktor, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan mengulanginya lagi.
Kemudian pada teori pertukaran lain yang dikemukakan oleh Homans yang di dalamnya terdapat sekumpulan proporsi fundamental. Homans menyatukan teori psikologi perilaku dengan teori ekonomi dasar. Teori ekonomi dasar menghasilkan konsep cost dan reward dalam suatu pertukaran sosial. Perukaran sosial Homans digambarkan seperti bentuk transaksi pertukaran ekonomi yang ada di pasar. Adapun teori Homans ini menghasilkan beberapa proposisi.
a. Proposisi Sukses
Semakin sering seseorang mendapatkan keuntungan dari perilaku yang dibuatnya, semakin besar pula kemungkinan ia akan melakukan perbuatan tersebut (Homans, 1974).
b. Proposisi Pendorong
Jika pada masa lalu seseorang mendapatkan keuntungan terhadap perilaku yang dibuatnya, maka semakin besar kemungkinan ia akan melakukan tindakan serupa di masa depan untuk mendapat keuntungan yang sama (Homans, 1974).
c. Proposisi Nilai
Semakin tinggi nilai suatu perbuatan, semakin tinggi pula kemungkinan seseorang akan melakukan tindakan tersebut (Homans, 1974).
d. Proposisi Deprivasi-Kejemuan
Semakin sering seseorang menerima keuntungan yang sama dari hasil perbuatannya, maka semakin kecil nilai dari keuntungan tersebut (Homans, 1974)
e. Proposisi Persetujian Agresi
Jika seseorang tidak memperoleh keuntungan yang diharapkannya melalui senuah tindakan, maka ia akan melakukan tindakan agresif yang mengakibatkan tindakan yang lebih bernilai baginya. Sementara itu, ketika seseorang mendapatkan keuntungan yang lebih dari yang ia harapkan, atau tidak mendapatkan hukuman seperti yang ia bayangkan, maka ia akan puas. Dengan demikian, tindakan-tindakan berikutnya akan terasa lebih bernilai baginya (Homans, 1974).
f. Proposisi Rasionalitas
Ketika diharuskan untuk memilih salah satu dari berbagai tindakan, seseorang akan memilih yang dianggap memiliki value (V) atau nilai sebagai hasil dari tindakan tersebut, kemudian dikalikan dengan probabilitas (p) dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang lebih besar (Homans, 1974).
Proporsi-proporsi Homans tersebut pada intinya meyakini adanya aktor sebagai pencari keuntungan yang rasional. Akan tetapi, sebagai teori yang sangat berbasis pada ilmu psikologi, teori Homans dianggap memiliki kelemahan dalam segi mentalitas. Teori milik Homas dinilai kurang lengkap dalam oengembangan aspek psikologis.
Pengembangan teori pertukaran sosial kemudian dilanjutkan oleh Peter Blau (1964), dimana pengembangan teori ini menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan teori milik Homans. Saat teori pertukaran sosial Homans berfokus pada perilaku dan individu, teori milik Blau justri memiliki cakupan yang lebih luas guna mencapai tujuan yang lebih besar. Menurut Blau, tujuan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari interaksi tatap muka adalah untuk memahami struktur sosial melalui landasan yang mengembangkan sehingga dapat menimbulkan kekuatan sosial yang menandai perkembangan tersebut (Blau, 1964).
Meski Blau dan Homans tertarik pada proses yang sama pada tingkat individual, teori Blau hanya terbatas pada reaksi pemberian hadiah atau keuntungan dari orang lain. Blau berpendapat bahwa tindakan akan segera berhenti bila reaksi pemberian hadiah itu tak kunjung datang. Keuntungan yang didapat itu akan menjadi motivasi bagi tiap-tiap individu untuk membangun serta mengembangkan kelompok sosial. Semakin sering aktor-aktor di dalamnya menerima keuntungan dari satu sama lain, semakin besar pula kemungkinan ikatan yang ada dalam kelompok sosial tersebut akan bertahan lama. Demikian pula sebaliknya, jika tidak ada keuntungan yang didapat dalam suatu ikatan sosial, maka ikatan tersebut akan melemah dan hancur.
Blau membagi keuntungan atau hadiah yang dapat diterima seseorang dalam hubungan menjadi dua. Pertama, keuntungan yang bersifat intrinsik. Keuntungan ini mengacu pada kebutuhan-kebutuhan sosial seseorang, pemenuhan keinginan batin yang bukan berupa benda ataupun materi. Keuntungan Intrinsik dapat berbentuk perasaan cinta, kasih sayang, perhatian, serta rasa hormat. Jenis keuntungan yang kedua ialah keuntungan yang bernilai ekstrinsik. Keuntungan ini biasanya lebih mengacu pada hadiah-hadiah yang menguntungkan secara langsung seperti uang, barang, atau tenaga kerja fisik.
Selain itu, Blau juga menyampaikan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi jika seseorang tidak memberikan perilaku yang sebanding dengan apa yang dibutuhkannya. Kemungkinan pertama, seseorang itu akan melakukan pemaksaan pada orang lain untuk tetap memenuhi kebutuhannya. Kemungkinan kedua, orang itu akan mencari sumber lain yang bersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Kemungkinan ketiga, orang itu akan berusaha untuk tetap menjalani hidupnya tanpa mendapat apa yang ia butuhkan. Kemungkinan keempat, orang itu akan menundukkan diri pada orang lain sehingga orang lain itu mendapatkan “penghargaan yang sama” (Ritzer & Goodman, 2004).
Pada dasarnya, konflik dalam hubungan sepasang kekasih adalah hal yang sangat umum terjadi. Konflik tersebut biasanya terjadi karena timbulnya kekecewaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Pada umumnya, kekecewaan itu didasari oleh buruknya komunikasi, kurangnya afeksi untuk satu sama lain, timbulnya kesalahpahaman, atau permasalahan lain yang tidak dapat diselesaikan (Syahputri & Khoirunnisa, 2021). Konflik-konflik inilah yang juga terjadi dalam sebagian hubungan jarak jauh. Kurangnya komunikasi menjadi akar dari retaknya suatu hubungan. Belum lagi, para individu yang menjalani hubungan jarak jauh akan mengalami kendala komunikasi yang lebih kompleks. Hal ini disebabkan karena jauhnya jarak menghambat suatu pasangan untuk melakukan komunikasi secara langsung atau tatap muka. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi secara tatap muka dapat mengurangi risiko adanya kesalahpahaman dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan secara daring, Hal ini pula yang sering kali menyebabkan konflik dalam hubungan jarak jauh. Selain itu, konflik lain yang dapat terjadi dalam sebuah hubungan jarak jauh adalah timbulnya perasaan khawatir, curiga, cemas, cemburu hingga rindu yang diakibatkan karena keterbatasan masing-masing individu untuk mengawasi secara langsung keseharian pasangannya. Secara psikologis, keterpisahan fisik dapat membangkitkan pemikiran-pemikiran negatif dalam seorang individu bahwa pasangannya tengah berselingkuh atau berbohong. Kecurigaan yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerenggangan dalam sebuah hubungan (Guldner, 2003).
Jika dilihat dari sudut pandang teori pertukaran sosial, individu yang menjalani hubungan jarak jauh cenderung mengharapkan terbangunnya komunikasi dalam hubungan tersebut. Dalam konteks pertukaran sosial, peningkatan kualitas komunikasi adalah keuntungan yang bersifat intrinsik. Adapun keuntungan-keuntungan tersebut dapat berupa afeksi, perasaan cinta, perhatian, kualitas hubungan yang baik, hingga perasaan “dibutuhkan” oleh pasangannya. Hal ini mendasari timbulnya pengorbanan bagi masing-masing individu untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkannya. Pengorbanan yang dilakukan dalam hubungan jarak jauh biasanya dilihat dari aspek emosional. Contohnya, untuk bisa mempertahankan hubungan dalam jarak jauh, seorang individu perlu menahan rasa rindu terhadap pasangannya; agar mendapatkan keuntungan berupa perhatian dan afeksi dari pasangan, seorang individu perlu melakukan hal yang sama terhadap pasangannya; agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam hubungan jarak jauh, seseorang perlu menahan diri untuk tidak menimbulkan rasa curiga terhadap pasangannya. Sebaliknya, jika pengorbanan tidak sesuai dengan harapan akan keuntungan yang akan didapat, maka konflik akan timbul dalam sebuah hubungan jarak jauh.
Sebagaimana dikatakan oleh Blau, orang yang menginginkan suatu keuntungan namun tidak ingin memberikan pengorbanan yang sebanding dengan keuntungan tersebut maka terdapat kemungkinan bahwa orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam konteks hubungan jarak jauh, seseorang memiliki peluang untuk berselingkuh ketika ia tidak mampu memberikan pengorbanan atas keuntungan yang ia butuhkan. Selain itu, pengorbanan berupa menahan perasaan curiga terhadap pasangan juga sangat berpengaruh pada ketahanan hubungan. Jika pengorbanan tersebut tidak dilakukan, maka terdapat kemungkinan bahwa pasangannya akan merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk mengakhiri suatu hubungan. Dengan demikian, pengorbanan dalam hubungan jarak jauh sangat diperlukan guna meraih keuntungan bagi masing-masing individu dalam hubungan tersebut.
Sebagian pasangan yang berhasil menjalankan hubungan jarak jauh merupakan bentuk dari keseimbangan antara keuntungan dan pengorbanan. Seperti pembahasan sebelumnya, hubungan yang bernilai positif ialah hubungan yang nilai keuntungannya lebih besar atau sama dengan nilai pengorbanan. Sebaliknya, jika terdapat pengorbanan yang nilainya lebih besar dibandingkan nilai keuntungan, maka hubungan itu dianggap negatif. Hal ini terbuktikan dengan adanya hubungan-hubungan jarak jauh yang tidak dapat dipertahankan karena timbulnya konflik yang disebabkan karena ketidakseimbangan antara pengorbanan (cost) dan keuntungan (reward). Oleh karena itu, diperlukan hasil yang seimbang dalam perhitunga cost dan reward untuk mewujudkan hubungan sosial yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, J., & Baldwin, J. (1986). Behavior Principles in Everyday Life. Englewood Cliffs.
Blau, P. (1964). Exchange and Power in Social Life. New York: Wiley.
Bushell, D., & Burgess, R. (1969). Some Basic Principles of Behavior. Behavioral Sociology.
Falah, Nabilah. (2022). Pemenuhan Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Pasangan Long Distance Marriage. AL-ASHLAH: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1(2).
Guldner, G. (2003). Long distance relationships: The complete guide. Corona: JF Milne.
Homans, G. (1974). Social Behavior: Its Elementary Forms. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Monge, P., & Contractor, N. (2003). Theories of communication networks. Oxford University Press.
Ritzer, G., & Goodman, D. (2004). Teori Sosiologi Modern (6 ed.). Jakarta: PRENADA MEDIA.
Syahputri, S., & Khoirunnisa, R. (2021). Hubungan Antara Komitmen dengan Forgiveness dalam Menghadapi Konflik pada Dewasa Muda yang Menjalin Hubungan Jarak Jauh. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(9).
Waluyo, L., & Revianti, I. (2019). Pertukaran Sosial dalam Online Dating (Studi Pada Pengguna Tinder di Indonesia). JURNAL INFORMATIK, 15(1).