Analisis Peran Media Komunikasi sebagai Sarana Berpendapat bagi Masyarakat terhadap Pemerintah
Pada era teknologi ini, media elektronik manjadi sarana utama bagi masyarak untuk melakukan komunikasi kepada publik. Setiap individu dari seluruh kalangan usia kini dapat mengakses informasi hanya melalui alat komunikasi yang telah terhubung dengan internet (Syamsuddin, 2018). Internet juga menyediakan segala bentuk informasi terkait berbagai bidang, tak terkecuali politik. Pesatnya perkembangan teknologi informasi tersebut memberikan pengaruh besar dalam masyarakat terutama pada aspek penyampaian kritik dan saran terhadap sistem pemerintahan di Indonesia.
Seluruh masyarakat diberi kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui media elektronik. Hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi yang melekat pada kehidupan setiap individu. Kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia juga telah tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (Rahmawati et al., 2021). Sementara itu, kebebasan berpendapat melalui media komunikasi telah tercantum pula pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28F yang berbunyi “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (Elfaiz, 2021).
Demikian dewasa ini masyarakat kerap menuangkan gagasannya terkait kinerja pemerintah yang dirasa perlu dibenahi melalui media sosial. Namun, pada kenyataannya, timbul berbagai permasalahan yang disebabkan oleh kritik masyarakat terhadap pemerintah dalam suatu media. Kebebasan ini seakan dibatasi oleh dihadirkannya pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut sering kali menjadi penghambat masyarakat untuk mengutarakan pendapatnya melalui media sosial hingga menimbulkan perasaan tidak aman untuk melakukan kritik terhadap pemerintah.
Teori yang digunakan sebagai dasar dari penelitian ini adalah teori konstruksi sosial oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Dengan dilakukannya kritik terhadap kinerja pemerintah, seorang individu berusaha untuk membangun sebuah realitas sosial sesuai dengan yang ia harapkan (Siregar, 2018). Adapun media komunikasi termasuk salah satu sarana bagi individu untuk mengemukakan pendapatnya mengenai sistem pemerintahan sebagai tahap internalisasi. Akan tetapi, karena adanya permasalahan yang kerap muncul terkait pemberian kritik oleh masyarakat terhadap pemerintah, proses pembangunan konstruksi sosial menjadi terhambat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan yang disebabkan oleh kritik terhadap pemerintah yang dilakukan melalui media komunikasi.
Baru-baru ini, marak ditemukan segenap komunitas masyarakat mengajukan kritikan terhadap pemerintah melalui unggahan bernuansa humoris. Pada dasarnya hal tersebut dilakukan guna menuai perhatian para petinggi negara agar dapat memperbaiki apa yang dirasa kurang sesuai bagi rakyatnya. Dalam tinjauan hak asasi manusia, hal tersebut tidak melanggar hukum demokrasi. Pasalnya, media sosial seharusnya menjadi wadah bagi masyarakat untuk berekspresi serta mengutarakan segala bentuk keresahan yang tengah dirasakan.
Kebebasan berekspresi dalam implementasinya merupakan cara untuk mencari validasi akan kebenaran. Sebagaimana telah dikemukakan oleh John Locke, kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menerima, serta menyebarluaskan penawaran pada masyarakat umum, baik dengan tujuan mendukung maupun mengkritik. Proses tersebut berpotensi untuk menyatukan persepsi masyarakat atas suatu fakta dan nilai. Dengan demikian, John Stuart Mill berpendapat bahwa kebebasan berekspresi menjadi sangat krusial untuk melindungi sekelompok masyarakat dari pemimpin yang melakukan kecurangan (Elfaiz, 2021).
Oleh sebab itu saat ini masyarakat menjadikan kebebasan berpendapat sebagai sebuah petisi untuk melawan penguasa yang melarangnya. Terlepas dari penolakan pemerintah atas kritik dari masyarakat, kebebasan berekspresi melalui media komunikasi sebenarnya juga merupakan bentuk partisipasi politik oleh warga negara. Kebebasan untuk memberi kritik serta mengoreksi kinerja pemerintah merupakan komponen esensial bagi keikutsertaan warga dalam isu-isu politik. Keterkaitan demokrasi dan kebebasan berekspresi diakui dalam hukum internasional. Kebebasan berekspresi dinyatakan sebagai salah satu syarat yang perlu diadakan dalam upaya perwujudan transparansi dan dapat dipertanggungjawabkan guna menciptakan perlindungan hak asasi manusia.
Pada kenyataannya, belakangan ini marak ditemui kasus komunitas masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah melalui media sosial. Akan tetapi, alih-alih diterima dengan baik, kritik tersebut justru memancing terjadinya perdebatan di kalangan masyarakat. Pasalnya kritikan terhadap pemerintah yang diunggah pada media sosial sering dianggap sebagai pencemaran nama baik dan dinilai melanggar UU ITE. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa takut untuk memberikan kritik terhadap pemerintah karena tindakan tersebut berpotensi untuk dikenakan sanksi tindak pidana.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dkk terhadap 110 mahasiswa, sebanyak 16,4% responden pernah melakukan kritik terhadsp pemerintah melalui media sosial. Banyaknya responden yang menyatakan belum pernah melakukan kritik terhadap pemerintah disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya ancaman sanksi tindak pidana yang didasari oleh UU ITE. Selanjutnya, sebanyak 38,2% responden menyetujui bahwa adanya UU ITE sangat membatasi masyarakat dalam memberikan kritik terhadap pemerintah melalui media sosial. Sebanyak 33,6% responden menyatakan UU ITE mungkin membatasi, sedangkan sisanya menyatakan bahwa UU ITE tidak membatasi kebebasan masyarakat dalam meberikan kritik terhadap pemerintah (Mayolaika et al., 2021).
Berikutnya terkait kekhawatiran masyarakat dalam memberikan kritik pemerintah, mayoritas responden atau sebanyak 50,9% merasa khawatir untuk memberikan kritik melalui media sosial karena merasa terancam oleh UU ITE. Sebanyak 30% responden merasa biasa saja akan hal tersebut, sementara 19,1% tidak merasa khawatir. Pada pertanyaan terakhir, Sebanyak 74,5% responden setuju akan ketidakjelasan jaminan atas kebebasan berpendapat untuk memberikan kritik terhadap pemerintah melalui media sosial. Dari data di atas, terlihat bahwa kebebasan berpendapat bagi masyarakat dalam media sosial masih patut dipertanyakan (Mayolaika et al., 2021).
Data tersebut menunjukkan sebagian besar pengguna media sosial setuju bahwa kebebasan berpendapat bagi masyarakat untuk melakukan kritik terhadap pemerintah melalui media sosial masih dibatasi. Berkaitan dengan teori konstruksi sosial, hal tersebut dapat dikatakan menghambat terbangunnya sebuah realitas sosial yang diharapkan oleh individu. Individu dibatasi kebebasannya akan berpendapat melalui media komunikasi sehingga proses internalisasi maupun eksternalisasi terhadap visi yang ingin dituju tidak dapat terjadi. Secara tidak langsung, persoalan tersebut dapat merugikan rakyat kecil karena ketidakmampuannya untuk merealisasikan realitas bangsa yang diharapkan. Artinya, dengan adanya keterbatasan dalam berpendapat, rakyat kecil tidak akan mampu membangun sebuah konstruksi realitas sosial.
Kebebasan berpendapat seharusnya dinormalisasikan oleh pemerintah. Pasalnya, bangsa Indonesia memerlukan rakyat yang dapat berpartisipasi dalam mengkonstruksi sebuah negara. Suatu bangsa akan sulit untuk maju apabila pemerintahnya tidak terbuka pada kritik dan saran yang disampaikan rakyatnya. Sebaiknya, hak kebebasan berpendapat melalui media kembali ditegakkan untuk membangun konstruksi dan realitas sosial sesuai dengan yang diharapkan seluruh komponen bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Elfaiz, F. (2021). KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT DI MEDIA SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.
Mayolaika, S., Effendy, V. V., Delvin, C., & Hanif, M. A. (2021). Pengaruh Kebebasan Berpendapat di Sosial Media terhadap Perubahan Etika dan Norma Remaja Indonesia. Jurnal Kewarganegaraan, 5(2).
Rahmawati, N., Muslichatun, & Marizal, M. (2021). KEBEBASAN BERPENDAPAT TERHADAP PEMERINTAH MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UU ITE. PRANATA HUKUM, 3(1).
Siregar, Z. (2018). Social Construction Of Mass Media (Konstruksi Sosial Media Massa). WAHANA INFORMASI, 7(1).
Syamsuddin. (2018). EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA MASSA PADA PROSES POLITIK PILKADA DI KABUPATEN PINRANG (SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS).