Analisis Dampak Penipuan Berbasis Aplikasi Mengatasnamakan Ekspedisi terhadap Kualitas Pola Pikir Masyarakat
Baru-baru ini media sosial digemparkan oleh informasi yang beredar mengenai penipuan yang mengatasnamakan pihak ekspedisi disertai lampiran atau tautan berkedok dokumentasi paket. Era perkembangan zaman rupanya tidak hanya memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan hidup masyarakat, tetapi juga mengancam keamanannya. Pelaku penipuan yang kian marak sudah semakin cerdas dalam menemukan cara untuk mengelabui calon korban. Permasalahan ini menjadi salah satu bentuk kejahatan dunia maya atau bisa juga disebut Cyber Crime.
Pada umumnya, pelaku akan berpura-pura menjadi karyawan pada salah satu cabang ekspedisi. Pelaku tersebut lalu akan mengirim tautan melalui aplikasi WhatsApp pribadi korban. Kemudian, korban akan diminta untuk mengunduh tautan atau lampiran yang telah disertakan. Pelaku berusaha meyakinkan korban bahwa lampiran tersebut merupakan bukti dokumentasi paket yang akan dikirimnya. Nyatanya, isi dari lapiran tersebut bukan merupakan dokumentasi paket, melainkan sebuah aplikasi yang akan menyerap saldo dari rekening korban (Noviansah, 2022).
Peristiwa itu pertama kali diunggah ke media sosial oleh salah satu warganet yang mengunggah gambar tangkapan layar ponselnya berisi obrolan yang dilakukannya dengan pelaku melalui aplikasi WhatsApp. Pada saat itu, korban sudah terlanjur mengunduh file yang dilampirkan. Korban mengaku telah kehilangan sejumlah uang dari rekeningnya. Dilansir dari Detik.com, korban menduga file yang diunduhnya merupakan aplikasi perbankan yang dapat meretas nama pengguna serta kata sandinya (Noviansah, 2022).
Persoalan itu tentunya menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat yang membaca unggahan tersebut. Unggahan tersebut menuai berbagai respon yang kritis. Warganet saling membagikan pengetahuannya tentang penipuan di era modern dan saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam bermedia sosial. Reaksi masyarakat dalam situasi yang demikian mencerminkan solidaritas yang terbangun karena adanya penyimpangan. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang dampak penipuan di era teknologi terhadap peningkatan kualitas pola pikir masyarakat.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat menimbulkan berbagai manfaat pada kehidupan manusia. Akan tetapi, segala sesuatu yang memiliki sisi positif tentunya akan memiliki sisi negatif jika disalahgunakan. Meski demikian, jika dipikir secara logis, teknologi yang diciptakan oleh tangan manusia seperti teknologi informasi memiliki sifat yang netral. Hal tersebut bermakna bahwa suatu benda tidak akan bisa melakukan kejahatan maupun kebaikan tanpa dikelola oleh manusia (Ersya, 2017). Manusia lah yang sering kali menyalahgunakan teknologi untuk melakukan tndakan yang bertentangan dengan hukum guna pencapai kepuasan pribadi.
Kejahatan sangat berkaitan dengan hasil ciptaan manusia. Artinya semakin maju teknologi di suatu bangsa, maka bentuk tindak kejahatan yang dihasilkannya akan semakin kontemporer (Wahab, 2002). Muladi dalam penelitiannya menemukan temuan yang menarik dari pelaku kejahatan dunia maya (cyber-crime). Ia berpendapat bahwa pelaku tindak pidana dalam internet tidak hanya melakukan perbuatannya semata-mata karena keuntungan secara materi, melainkan karena adanya tantangan dalam tindakan tersebut. Bagi pelaku tindak kejahatan dunia maya, yang paling utama bukanlah apa yang diperoleh dari perbuatan tersebut, tetapi cara mengakalu suatu sistem dan menikmati hasil perbuatannya (Muladi, 1997).
Diambil dari CNN Indonesia, angka serangan siber di Indonesia mencapai 714.170.967 kasus pada paruh pertama 2022 sebagaimana telah dicatat oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Adapun jumlah kasus serangan paling tinggi terjadi pada Januari dengan angka serangan sebanyak 272.962.734 kasus. Jenis serangan yang paling banyak ditemukan oleh BSSN adalah serangan ransomware atau serangan malware yang bertujuan untuk meminta tebusan pada pemilik data. Selain itu, pada peringkat kedua dan ketiga jenis serangan siber terbanyak, terdapat pula serangan siber yang menggunakan metode phishing dan eksploitasi (CNNIndonesia.com, 2022).
Berdasarkan data di atas membuktikan bahwa jumlah tindak pidana komputer di Indonesia selama 2022 sudah sangat mengkhawatirkan. Akan tetapi, situasi yang demikian justru memberi dampak positif bagi perkembangan masyarakat di Indonesia, khususnya para pengguna internet. Sebagian besar penguna media sosial saling membantu menyebarkan informasi mengenai bahaya penipuan yang dilakukan sebagai bentuk tindak serangan siber. Akibatnya, semakin banyak pengguna yang mengerti bagaimana caranya bersikap kritis terhadap suatu informasi yang diterimanya melalui media sosial, terutama terkait modus-modus penipuan. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai peningkatan atas kualitas pola pikir masyarakat.
Pola pikir kritis dapat diartikan sebagai cara berpikir yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk melakukan perlawanan pada kekuatan ekonomi, politik, maupun relasi sosial yang menyimpang. Pola pikir kritis akan muncul ketika manusia memiliki keinginan untuk bertanya pada dirinya sendiri serta melakukan evaluasi terkait informasi yang diterimanya (Kurniawaty et al., 2022). Untuk membangkitkan pola pikir kritis, seseorang perlu mengeluarkan usaha yang lebih untuk memastikan kebenaran akan informasi yang beredar di sekitarnya (Anwar, 2017). Demikian masyarakat perlu mengasah pola pikirnya agar dapat berpikir kritis ketika menggunakan media sosial. Pengguna media sosial harus pandai menyaring informasi yang beredar agar tidak mudah menjadi korban penipuan yang semakin modern.(Hapsyah, 2018)
Maraknya kasus penipuan melalui media sosial telah membangkitkan kualitas pola pikir masyarakat. Masyarakat kini lebih waspada akan penipuan-penipuan yang bisa saja terjadi pada dirinya. Kondisi ini sesuai dengan teori struktural fungsional milik Robert. K Merton. Teori ini meyakini bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang saling berkaitan serta saling menyatu guna membentuk suatu keseimbangan.
Salah satu konsep Robert K. Merton dalam teori struktural fungsional ialah konsep disfungsi. Mnurut Merton, dalam setiap proses penyesuaian sistem, akan ada kemunculan sebab negatif. Dalam konteks penipuan sebagai serangan siber, penyimpangan tersebut adalah suatu disfungsi yang harus dilewati untuk mencapai proses penyesuaian, dalam konteks ini, berkembangnya kualitas pola pikir masyarakat. Penganut teori struktural fungsional memang memandang bahwa seluruh komponen sistem sosial memiliki fungsi, baik itu fungsi positif maupun fungsi negatif.
Dapat dinyatakan bahwa penipuan yang mengatasnamakan ekspedisi menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kualitas pola pikir masyarakat. Pengguna media sosial kini lebih waspada serta memahami esensi penerapan pola pikir kritis karena adanya kasus-kasus serangan siber. Situasi ini menjadi realitas dari teori Robert K. Merton mengenai struktural fungsional. Pada akhirnya, seluruh komponen masyarakat akan memiliki fungsinya masing-masing, baik yang berdampak positif maupun negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. (2017). Filsafat Pendidikan. Kencana.
Ersya, M. P. (2017). Permasalahan Hukum dalam Menanggulangi Cyber Crime di Indonesia. Journal of Moral and Civic Education, 1(1).
Hapsyah, D. R. (2018). Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Bimbingan Kelompok Teknik. Sosiodrama Peserta Didik Di Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2017/2018.
Kurniawaty, I., Hadian, V. A., & Faiz, A. (2022). Membangun Nalar Kritis di Era Digital. Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(3).
Noviansah, W. (2022, December 6). Viral Penipuan Modus Kirim APK di WA, Polisi Harap Korban Lapor. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-6445776/viral-penipuan-modus-kirim-apk-di-wa-polisi-harap-korban-lapor
RI Dihantam 700 Juta Serangan Siber di 2022, Modus Pemerasan Dominan. (2022). CNNIndonesia.Com.
Wahab, A. (2002). Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer. Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum Unisma.